Jumat, 08 Juni 2012

Sigale-gale dan Legenda Batu Gantung

Sigale-gale dan Legenda Batu Gantung

Tomok Danau Toba Sigale gale batu gantung 7 640x426 Sigale gale dan Legenda Batu Gantung

Si Gale-gale, Boneka penari

Sigale-gale adalah sebuah pertunjukan boneka khas tanah Batak. Boneka ini bisa menari dengan diiringi musik tradisional Batak.Tarian yang ditampilkannya pun menyerupai tarian tor tor khas Batak.
Pertunjukan Sigale-gale ini dapat kita saksikan saat kita mengunjungi Tomok Samosir di Danau Toba, Sumatera Utara. Pertunjukan ini menjadi salah satu daya tarik wisata yang ada di danau tersebut.
Di Tomok Samosir ini, pertunjukan boneka Si Gale-gale di adakan di depan rumah adat khas batak. Lokasinya mirip perkampungan, dengan beberapa rumah adat yang berjejer.
Tomok Danau Toba Sigale gale batu gantung 9 640x426 Sigale gale dan Legenda Batu GantungBagaimana asal muasal boneka si Gale-gale ini? menurut cerita,  di masa lalu, si gale-gale muncul dalam acara penguburan dimana ia berfungsi sebaga pengganti anak laki-laki orang yang dikuburkan yang tidak pernah memiliki anak laki-laki dalam hidupnya.
Namun semenjak agama mulai dikenal di tanah Batak, Si Gale-gale tidak pernah digunakan saat acara penguburan lagi. sekarang dia hanya dipertunjukkan sebagai sebuah warisan budaya.

Legenda Batu Gantung, Anak Durhaka dari Samosir

Satu keunikan lain yang juga bisa kita temukan saat berwisata ke Danau Toba adalah Batu Gantung. Batu gantung ini adalah sebuah batu yang terdapat di salah satu tebing di pinggir Danau Toba. Mengunjungi Batu gantung ini sepertinya merupakan rute standar saat kita berwisata dengan kapal pesiar khas Danau Toba.
Tomok Danau Toba Sigale gale batu gantung 17 640x426 Sigale gale dan Legenda Batu GantungMenurut pengamen cilik yang ada di kapal pesiar yang kami tumpangi, Legenda Batu Gantung ini bercerita tentang seorang gadis cantik yang menolak ketika hendak dinikahkan oleh ibunya dengan putra raja Samosir. Sang gadis kemudian melarikan diri, dan bermaksud hendak bunuh diri dengan terjun dari sebuah tebing.
Namun saat gadis itu terjun, ternyata rambutnya tersangkut di batu. Sang ibu yang murka, melihat anaknya tergantung, lalu menyumpah sang anak menjadi batu, beserta seekor anjing peliharaan sang gadis. jadilah sang gadis dan anjing peliharaannya menjadi batu gantung.

Sabtu, 19 Mei 2012

Arsitektur Rumah BAtak

Arsitektur Rumah Batak

Rumah Batak2Suku Batak terdiri dari enam kelompok Puak yang sebagian besar menempati daerah Sumatera Utara, terdiri dari Batak Karo, Simalungun, Pak-Pak, Toba, Angkola dan Mandailing. Suku Batak Toba adalah masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal sebagai penduduk asli disekitar Danau Toba di Tapanuli Utara. Pola perkampungan pada umumnya berkelompok. Kelompok bangunan pada suatu kampung umumnya dua baris, yaitu barisan Utara dan Selatan. Barisan Utara terdiri dari lumbung tempat menyimpan padi dan barisan atas terdiri dari rumah adat, dipisahkan oleh ruangan terbuka untuk semua kegiatan sehari-hari.
Desa-desa di daerah Danau Toba, meskipun saat ini telah kehilangan dibandingkandengan bentuk desa masa lampau, tetapi ciri yang umum masih ada bahkan pada desa-desa yang kecil, yaitu dikelilingi oleh sebuah belukar bambu. Pohon-pohon bambu sangat tinggi dan seringkali sulit untuk melihat rumah-rumahnya dari luar desa itu, kecuali didaerah yang berbukit. Di sekitar Balige, poros bangunan yang panjang mempunyai arah Utara-Selatan sedang di daerah bukit poros bangunan yang panjang sering diorientasikan secara melintang ke arah sudut-sudut yang tepat ke lereng-lereng bukit. Di daerah Samosir, poros bangunan yang panjang diarahkan ke Timur-Barat.
Pada mulanya Huta, Lumban, atau kampung itu hanya dihuni oleh satu klan atau marga dan Huta itu pun di bangun oleh klan itu sendiri. Jadi sejak mulanya Huta itu adalah milik bersama. Sebagaimana ciri khas orang Batak yang suka gotong royong, demikianlah mereka membangun Huta. Oleh karena Huta didiami oleh sekelompok orang yang semarga, maka ikatan kekeluargaan sangat erat di Huta itu. Mereka secara gotong royong membangun dan memperbaiki rumah, secara bersama-sama memperbaiki pancuran tempat mandi, memperbaiki pengairan, mengerjakan ladang dan sawah, dan bersama-sama pula memetik hasilnya.
Biasanya Huta hanya didiami beberapa anggota keluarga yang berasal dari satu leluhur. Disebabkan oleh pertambahan penduduk, kemudian dibangunlah rumah dekat rumah leleuhur atau ayah yang pertama. Demikian seterusnya bangunan rumah makin bertambah, sehingga terbentuk perkampungan yang lebih ramai. Sering pula kampung itu terdiri dari beberapa kelompok kampung-kampung kecil, yang hanya dipisahkan pagar bambu yang ditanam dipinggiran kampung.
Adanya usaha beberapa orang dari anggota masyarakat dalam satu kampung untuk memisahkan diri dan membentuk kampung sendiri, dapat membuat berdirinya Huta lain. Suatu Huta yang baru, hanya dapat diresmikan kalau sudah ada ijin dari Huta yang lama (Huta induk) dan telah menjalankan suatu upacara tertentu yang bersifat membayar hutang kepada Huta induk.
Rumah adat Batak Toba berdasarkan fungsinya dapat dibedakan ke dalam rumah yang digunakan untuk tempat tinggal keluarga disebut ruma, dan rumah yang digunakan sebagai tempat penyimpanan (lumbung) disebut Sopo. Bahan-bahan bangunan terdiri dari kayu dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Dinding dari papan atau tepas, lantai juga dari papan sedangkan atap dari ijuk. Tipe khas rumah adat Batak Toba adalah bentuk atapnya yang melengkung dan pada ujung atap sebelah depan kadang-kadang dilekatkan tanduk kerbau, sehingga rumah adat itu menyerupai kerbau.
Punggung kerbau adalah atap yang melengkung, kaki-kaki kerbau adalah tiang-tiang pada kolong rumah. Sebagai ukuran dipakai depa, jengkal, asta dan langkah seperti ukuran-ukuran yang pada umumnya dipergunakan pada rumah-rumah tradisional di Jawa, Bali dan daerah-daerah lain. Pada umumnya dinding rumah merupakan center point, karena adanya ukir-ukiran yang berwarna merah, putih dan hitam yang merupakan warna tradisional Batak.
Ruma Gorga Sarimunggu yaitu ruma gorga yang memiliki hiasan yang penuh makna dan arti. Dari segi bentuk, arah motif dapat dicerminkan falsafah maupun pandangan hidup orang Batak yang suka musyawarah, gotong royong, suka berterus terang, sifat terbuka, dinamis dan kreatif.
Ruma Parsantian didirikan oleh sekeluarga dan siapa yang jadi anak bungsu itulah yang diberi hak untuk menempati dan merawatnya. Di dalam satu rumah dapat tinggal beberapa keluarga , antara keluarga bapak dan keluarga anak yang sudah menikah. Biasanya orangtua tidur di bagian salah satu sudut rumah. Seringkali keluarga menantu tinggal bersama orangtua dalam rumah yang sama.
Rumah melambangkan makrokosmos dan mikrokosmos yang terdiri dari adanya tritunggal benua, yaitu : Benua Atas yang ditempati Dewa, dilambangkan dengan atap rumah; Benua Tengah yang ditempati manusia, dilambangkan dengan lantai dan dinding; Benua Bawah sebagai tempat kematian dilambangkan dengan kolong. Pada jaman dulu, rumah bagian tengah itu tidak mempunyai kamar-kamar dan naik ke rumah harus melalui tangga dari kolong rumah, terdiri dari lima sampai tujuh buah anak tangga. Bersambung.
Suku Batak terdiri dari enam kelompok Puak yang sebagian besar menempati daerah Sumatera Utara, terdiri dari Batak Karo, Simalungun, Pak-Pak, Toba, Angkola dan Mandailing. Sebelum meletakkan pondasi lebih dahulu diadakan sesajen, biasanya berupa hewan, seperti kerbau atau babi. Caranya yaitu dengan meletakkan kepala binatang tersebut ke dalam lubang pondasi, juga darahnya di tuang kedalam lubang. Tujuannya supaya pemilik rumah selamat dan banyak rejeki di tempat yang baru.
Ada tiang yang dekat dengan pintu (basiha pandak) yang berfungsi untuk memikul bagian atas, khususnya landasan lantai rumah dan bentuknya bulat panjang. Balok untuk menghubungkan semua tiang-tiang disebut rassang yang lebih tebal dari papan. Berfungsi untuk mempersatukan tiang-tiang depan, belakang, samping kanan dan kiri rumah dan dipegang oleh solong-solong (pengganti paku). Pintu kolong rumah digunakan untuk jalannya kerbau supaya bisa masuk ke dalam kolong.
Tangga rumah terdiri dari dua macam, yaitu : pertama, tangga jantan (balatuk tunggal), terbuat dari potongan sebatang pohon atau tiang yang dibentuk menjadi anak tangga. Anak tangga adalah lobang pada batang itu sendiri,berjumlah lima atau tujuh buah. Biasanya terbuat dari sejenis pohon besar yang batangnya kuat dan disebut sibagure. Kedua, tangga betina (balatuk boru-boru), terbuat dari beberapa potong kayu yang keras dan jumlah anak tangganya ganjil.
Tiang-tiang depan dan belakang rumah adat satu sama lain dihubungkan oleh papan yang agak tebal (tustus parbarat), menembus lubang pada tiang depan dan belakang. Pada waktu peletakannya, tepat di bawah tiang ditanam ijuk yang berisi ramuan obat-obatan dan telur ayam yang telah dipecah, bertujuan agar penghuni rumah terhindar dari mara bahaya.
Rumah adat Batak Toba pada bagian-bagian lainnya terdapat ornamen-ornamen yang penuh dengan makna dan simbolisme, yang menggambarkan kewibawaan dan kharisma. Ornamen-ornamen tersebut berupa orang yang menarik kerbau melambangkan kehidupan dan semangat kerja, ornament-ornamen perang dan dan sebagainya. Teknik ragam hias terdiri dari dua cara, yaitu dengan teknik ukir teknik lukis. Untuk mengukir digunakan pisau tajam dengan alat pemukulnya (pasak-pasak) dari kayu. Sedangkan teknik lukis bahannya diolah sendiri dari batu-batuan atau pun tanaga yang keras dan arang. Atap rumah terbuat dari ijuk yang terdiri dari tiga lapis. Lapisan pertama disebut tuham-tuham ( satu golongan besar dari ijuk, yang disusun mulai dari jabu bona tebalnya 20 cm dan luasnya 1×1,5 m2). Antara tuham yang satu dan dengan tuham lainnya diisi dengan ijuk agar permukaannya menjadi rata. Lapisan kedua, yaitu lalubaknya berupa ijuk yang langsung diambil dari pohon Enau dan masih padat, diletakkan lapis ketiga. Setiap lapisan diikat dengan jarum yang terbuat dari bambu dengan jarak 0,5 m.
Sebelum mendirikan bangunan diadakan musyawarah terlebih dahulu. Hasil musyawarah dikonsultasikan kepada pengetua untuk memohon nasihat atau saran. Setelah diadakan musyawarah, tindakan berikutnya adalah peninjauan tempat. Apabila tempat tersebut memenuhi persyaratan, maka ditandai dengan mare-mare yakni daun pohon enau yang masih muda dan berwarna kuning, yang merupakan pertanda atau pengumuman bagi penduduk disekitarnya bahwa tempat tersebut akan dijadikan bangunan.
Tahap pertama adalah pencarian pohon-pohon yang cocok kemudian ditebang dan dikumpulkan disekitar tempat-tempat yang akan didirikan rumah. Kemudian bahan-bahan tersebut ditumpuk ditempat tertentu agar terhindar dari hujan dan tidak cepat lapuk atau menjadi busuk.
Dalam mendirikan suatu rumah adat biasanya memakan waktu sampai lima tahun. Sudah barang tentu memakan biaya banyak, karena banyaknya hewan yang dikorbankan, untuk memenuhi syarat-syarat dan upacara-upacara yang diadakan, baik sebelum mendirikan bangunan (upacara mengusung bunti), pada waktu mendirikan bangunan (upacara parsik tiang) pada waktu memasang tiang, dan panaik uwur (pada waktu memasang uwur) maupun pada waktu bangunan telah selesai, yaitu upacara memasuki rumah baru (mangopoi jambu) dan upacara memestakan rumah (pamestahon jabu)
Suku Batak terdiri dari enam kelompok Puak yang sebagian besar menempati daerah Sumatera Utara, terdiri dari Batak Karo, Simalungun, Pak-Pak, Toba, Angkola dan Mandailing.
Daerah yang ditempati oleh suku Batak Simalungun terletak diantara daerah Karo dan Toba di Sumatera Utara. Pada waktu ini sudah hampir tidak terdapat lagi desa-desa tradisional dari suku Batak Simalungun, yang dahulunya merupakan sebuah desa yang besar sekali dikelilingi oleh pohon-pohon beracun. Desa tersebut dibangun di atas sebuah bukit, dan sulit sekali untuk dimasuki kecuali melewati terowongan-terowongan yang langsung dapat mencapai tengah-tengah desa.
Arsitektur tradisional dari suku Batak Simalungun masih dapat dipelajari dari empat jenis bangunan yang masih ada, dalam bentuk Balai Buttu (pintu gerbang rumah), Jambur (gudang), Bolon adat (rumah raja) dan Balai Bolon Adat (gedung pertemuan dan pengadilan). Balai Buttu dicapai dengan anak tangga dari kayu, luasnya kira-kira 6m2 dan tingginya 6 m. Dasarnya adalah balok-balok horisontal yang dibangun dalam bentuk persegi, di susun di atas empat buah batu kali dengan alas ijuk diantara batu dan papan . jambur digunakan untuk menyimpan beras, tetapi dipakai juga sebagai tempat tinggal tamu laki-laki dan tempat dimana para bujangan tidur.
Fungsi dari bangunan ini seperti yang ada di Pematang Purba, tampaknya telah menyimpang dari penggunaan aslinya dan terlihat pada tungku perapiannya. Bagian atas menunjukkan bahwa kegunaan utamanya telah menjadi tempat tinggal dan bukan dipergunakan sebagai tempat penyimpanan beras. Bangunan ini kira-kira luasnya 25 m2 dan tingginya 7m. Strukturnya di atas dua belas batu kali yang tiga menyilang ke depan dan empat dari depan ke belakang. Lantai yang lebih rendah hanya 75 cm dari tanah dan ditopang tiga lapis palang balok. Lumbung digantungkan di atas tungku di tingkat atas, dimana penggunaan utama dari bangunan tersebut tetap sebagai tempat penyimpanan beras.
Balai Balon Adat semula digunakan untuk tempat pertemuan-pertemuan dan untuk membahas masalah penting dalam hukum adat. Sistem pembangunannya sama seperti Balai Buttu, tetapi dalam skala lebih besar. Perbedaan utamanya adalah pada tiang penyangga struktur atap yang diletakkan di atas balok lantai. Tiang berdiameter 35 cmdan dibuat dari kayu yang sangat keras. Dasar dari tiang ini sangat penting dan ditutupi dengan ukiran, lukisan dan tulisan yang berhubungan dengan hukum adat. Bagian depan (Timur) adalah pintu, lebarnya 80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi dengan ukiran, lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala singa pada ambang pintu.
Potongan yang lebih rendah dari dinding yang miring pada setiap sisi pintunya dipenuhi dengan papan tiang jendela vertikal yang membiarkan masuknya cahaya dan angin. Rumah Balon Adat (rumah raja) terbagi menjadi dua bagian, yaitu yang besar dibangun pada tiang-tiang vertikal, sedangkan yang kecil disusun pada tumpukan balok horisontal, pintu masuk pada sisi sebelah Timur diapit oleh balkon atas dan bawah, menopang pada sambungan dari bagian atap ke bagian depan bangunan. Ujung atapnya sederhana, dua puluh tiang yang menopang lantai dibentuk menjadi ortogal dan dicat dengan motifgeometris hitam putih.
Tidak seperti bangunan lainnya, bangunan ini mempunyai lantai ganda dengan gang yang menurun ke pusat pada lantai yang lebih rendah. Lantai yang rendah berada 2,80 m dari tanah dan gang digantungkan dengan rota yang diikat pada dua pusat kayu, dilengkapi dengan kumpulan papan yang terbentuk dengan indah sebagai dekorasinya. Tungku perapian dibangun dari sisa pembakaran kayu dan dipenuhi dengan tanah. Di atas tungku dipasang ayunan dimana peralatan memasak disimpan dan bahan makanan dikeringkan serta diasapi.
Pintu pada ujung sebelah Timur kamar raja berisi ruangan tidur kecil dan dua tungku api. Konstruksi pada bagian bangunan ini sama dengan rumah pertemuan (Balai Balon adat) kecuali struktur lantainya sedikit rumit sebagai akibat dari tungku tersebut. Penutup atap keseluruhan adalah jalinan ijuk pada kaso dan papan kecil dari bambu. Bumbungan dikat dengan ijuk dengan hiasan kepala kerbau pada puncaknya.
Pada bangunan Simalungun susunan strukturnya terdiri dari tiang-tiang bergaris tengah 40 sampai 50 cm. Sebagian besar adalah balok-balok dan tiang-tiang yang dibiarkan dalam potongan bundar yang ditebang dari hutan. Kayu yang digunakan pada umumnya adalah kayu keras, kayu tongkang dan kadang-kadang keseluruhan bambu digunakan dalam jalinan ijuk yang diikat dengan rotan atau bambu belah. Struktur tersebut ditata di atas batu-batu kali yang besar kecuali untuk rumah raja. Tiang-tiangnya ditanam di dalam tanah. Pusat tiang terpenting dari gedung pertemuan diukir dari kayu keras yang tebal. Paku tidak digunakan dalam konstruksi, hanya pasak dan tali ijuk baji (sentung).
Bangunan rumah adat Batak Karo merupakan sebuah bangunan yang sangat besar, terdiri dari empat sampai enam tungku perapian, satu untuk setiap unit keluarga besar (jabu) atau untuk dua jabu. Oleh karena itu antara empat sampai duabelas keluarga dapat tinggal di rumah tersebut dan dengan ukuran rata-rata keluarga besar terdiri dari lima orang (suami, istri dan tiga orang anak). Rumah adat Batak Karo dapat ditempati oleh dua puluh sampai enam puluh orang. Anak-anak tidur dengan orangtua sampai menjelang usia dewasa, pada pria dewasa (bujangan) tidur di bale-bale lumbung dan para gadis bergabung dengan keluarga lain di rumah lainnya.
Rumah adat Batak Karo berukuran 17×12 m2 dan tingginya 12m. Bangunan ini simetris pada kedua porosnya, sehingga pintu masuk pada kedua sisinya kelihatan sama. Hal ini sulit untuk membedakan yang mana pintu masuk utamanya. Rumah adat Batak Karo dibangun dengan enam belas tiang yang bersandar pada batu-batu besar dari gunung atau sungai. Delapan dari tiang-tiang ini menyangga lantai dan atap, sedangkan yang delapan lagi hanya penyangga lantai saja. Dinding-dindingnya juga merupakan penunjang atap. Kedua pintumasuk dan kedelapan jendela dipasang di atas dinding yang miring, di atas lingkaran balok. Tinggi pintu setinggi orang dewasa dan jendela ukurannya lebih kecil. Pintu mempunyai daun pintu ganda sedangkan jendela mempunyai daun jendela tunggal.
Bagian luar dari kusen jendela dan pintu umumnya diukir dalam versi yang rumit dari susunan busur dan anak panah. Atap dijalin dengan ijuk hitam dan diikatkan kepada sebuah kerangka dari anyaman bambu yang menutupi bagian bawah kerangka dari pohon aren atau bambu. Bumbungan atap terbuat dari jerami yang tebalnya 15 sampai 20 cm. Bagian terendah dari atap pertama di bagian pangkalnya ditanami tanaman yang menjalar pada semua dinding dan berfungsi sebagai penahan hujan deras. Ujung dari atap yang menonjol ditutup dengan tikar bambu yang sangat indah.
Fungsi utama dari ujung atap yang menonjol ini adalah untuk emmungkinkan asap keluar dari tungku dalam rumah. Pada bagian depan dan belakang rumah adalah panggung besar yang disebut ture, konstruksinya sederhana dari potongan bambu melingkar dengan diameter 6 cm. Panggung ini dugunakan untuk tempat mencuci, menyiapkan makanan, sebagai tempat pembuangan (kotoran hewan) dan sebagai ruang masuk utama. Jalan masuk menuju ture adalah tangga bambu atau kayu.
Bagian pokok dari tungku perapian adalah untuk memasak, dibuat antara dua lantai sehingga bagian dasarnya bersandar di atas bambu dan ujungnya adalah setingkat dengan lantai utama. Sisi-sisi dari bagian pokok tersebut dibuat dari sisa-sisa kayu bakar dan ditempatkan pada tanah yang keras. Sepanjang pertengahan dari rumah adalah gang yang sempit setingkat dengan lantai dasar, dan sepanjang sisi-sisi dinding dibangun tempat tidur.
Interior dari rumah sangat gelap karena jendela-jendelanya yang kecil serta asap dari perapian yang telah menghitamkan seluruh papan dan kayu-kayu. Tempat penyimpanan makanan dan peralatan rumah tangga diletakkan dibagian atas rumah, dimana balok bulat yang menghubungkan tiang-tiang penunjang yang menembus lantai pada setiap sisi rumah dan menunjang struktur atap dan podium. Lumbung untuk menyimpan padi, yang dalam bahasa daerah Batak disebut jambur, didirikan dalam tiga tingkatan

Mual Pansur Sipitu Dai(pancuran tujuh rasa)

Mual Pansur Sipitu Dai (Pancuran Tujuh Rasa)

Adalah satu air dengan tujuh buah pancuran yang masing-masing, pancuran mempunyai tujuh sumber mata air, yang masing-masing mengalir sehingga bergabung menjadi satu aliran dalam satu bak yang panjang, kemudian dari bak yang panjang itu dibuat pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam pula seperti pada sumber mata airnya padahal telah bergabung dalam bak yang panjang.
Air ini disebut “PANSUR SIPITU DAI” (Pansur Tujuh Rasa), karena pancuran yang tujuh itu mempunyai tujuh macam rasa, ketujuh pancuran ini, dibagi menurut status masyarakat yang ada di Limbong yaitu :
  1. Pansuran ni dakdanak yaitu tempat mandi bayi yang masih belum ada giginya
  2. Pancuran ni sibaso yaitu tempat mandi para ibu yang telah tua, yaitu yang tidak melahirkan lagi
  3. Pansuran ni ina-ina yaitu tempat mandi para ibu yang masih dapat melahirkan
  4. Pansur ni namarbaju yaitu tempat mandi gadis-gadis
  5. Pansur ni pangulu yaitu tempat mandi para raja-raja
  6. Pansur ni doli yaitu tempat mandi para lelaki
  7. Pansur Hela yaitu tempat mandi para menantu laki-laki yaitu semua marga yang mengawini putri marga Limbong
KEANEHANNYA :
  1. Dari tujuh macam rasa yang dari pancuran itu tidak ada satupun seperti rasa air biasa
  2. tujuh macam rasa bersumber dari tujuh mata air telah bergabung dalam satu Labuan (Bak Panjang) tetapi anehnya rasa air yang tujuh macam itu, dapat terpisah kembali, sehingga rasa air yang mengalir melalui pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam rasanya.
  3. selama bergabung dalam labuan (bak panjang), rasa lainnya hanya satu macam saja, walaupun sumbernya tujuh macam dan keluarnya tujuh macam
  4. apabila air ini diambil dan dibawa ke tempat jauh dan tidak direstui oleh penghuni alam yang ada di tempat itu, maka airnya akan menjadi tawar seperti air biasa.
  5. Mandi di pancuran ini, dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
  6. apabila ada orang jatuh saat mandi di Pancuran ini, kalau pada saat jatuh kepalanya ke arah hulu, maka ia akan jatuh sakit, tetapi kalau kepalanya ke arah hilir, maka ia akan meninggal dunia.
  7. di pancuran ini, orang dapat berdoa kepada Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Mah Esa) memohon kesembuhan, memohon agar murah rejeki dan memohon bermacam keinginan lainnya, dan ternyata sudah banyak orang yang telah berhasil memperolehnya.
Bagian  II
Pancur Tujuh Rasa adalah melambangkan angka sakti atau bilangan sakti, karena bilangan tujuh itu adalah bilangan sakti dalam kehidupan ritual bagi suku Batak, dan juga melambangkan beberapa macam keadaan suku Batak.
Adapun berbagai macam keadaan yang dilambangkan Pancur Tujuh Rasa ini ialah :
1. Menurut ahli perbintangan Batak, bahwa dunia ini beserta isinya, di ciptakan oleh Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) dalam tujuh hari yaitu mulai dari artia hingga samirasa yaitu hari pertama hingga hari ke tujuh, menurut penanggalan Batak jumlah hari penciptaan yang tujuh inilah yang merupakan dasar untuk dikembangkan menjadi nama-nama hari yang tigapuluh untuk mengikuti peredaran bulan mengelilingi bumi selama satu bulan. Jumlah hari yang tujuh itu, sama dengan jumlah hari yang pergunakan kalender Internasional, yang lazim disebut dengan istilah seminggu, namun perbedaan antara kalender Internasional dengan kalender penanggalan Batak ialah : kalender Internasional berpedoman kepada siang, yakni berdasarkan peredaran matahari, yang dimulai dari tengah malam yaitu jam 0.00 sampai dengan yakni jam 0.00. Tetapi penanggalan Batak berpedoman kepada malam yang berdasarkan peredaran bulan yaitu dimulai dengan jam 18.00 (jam 6.00 menjelang malam) sampai dengan jam 18.00.
Adapun nama-nama hari yang tujuh itu, kemudian dikembangkan menjadi tiga puluh, mengikuti peredaran bulan dalam satu bulan, adalah sebagai berikut :
Artia (hari pertama, senin), suma (hari kedua selasa), anggara (hari ketiga rabu), muda (hari keempat kamis), boras pati (hari kelima Jumat), singkora (hari keenam sabtu), samisara (hari ketujuh minggu), artian ni aek, suma ni mangodap, anggara sampulu, muda ni mangodap, boraspati ni tangkop, singkora purnama, samisara purnama, tula, suma ni holom, anggara ni holom, nada ni holom, singkora mora turunan, samisara mora turunan, artian ni angga, suma ni mate, anggara ni begu, muda ni mate, boras pati na gok, singkora duduk, samisara bulan mate, hurung, ringkar.
Kalender Internasional menghitung hari 356 hari atau 12 bulan dalam setahun, tetapi penanggalan batak menghitung hanya 355 hari atau 12 bulan namun sekali 3 (tiga) tahun, ada bulan ke-13 yang disebut bulan lamadu.
Dalam kehidupan suku Batak ada ahli perbintangan yang namanya disebut “Datu Siboto Ari”. Datu Siboto Ari ini dapat mengetahui dan menentukan, hari yang baik, hari yang sial, hari yang naas, hari yang subur dan hari-hari lainnya. Datu Siboto Ari (ahli perbintangan Orang Batak) yang dapat mengetahui dan menentukan mana hari baik dan mana hari sial, bukanlah ilmu ramal-meramal tetapi sesuai dengan ilmu pengetahuan yang mereka kuasai maka mereka dapat membaca dan mengartikan situasi yang akan terjadi pada saat-saat tertentu, atau hari-hari tertentu sesuai dengan pengaruh dan hubungan letak dan posisi bulan pada garis edarnya dan akibatnya terhadap manusia.
Jadi jelaslah bahwa ilmu perbintangan Batak itu bukanlah ilmu ramal meramal, melainkan adalah ilmu pengetahuan alam atau ilmu hukum alam. Menurut ilmu perbintangan batak bahwa manusia itu sangat erat kaintannya dengan alam semensta, sehingga letak dan posisi bulan pada garis edarnya, ini sangat berpengaruh dan mempunyai akibat tertentu, terhadap kehidupan manusia maka oleh karena itu untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu, harus dipilih hari yang baik. Para Datu Siboto Ari (Ahli Perbintangan Batak), pada umumnya mereka menuliskan ilmu pengetahuan perbintangan itu pada sepotong bambu yang disebut “Bulu Parhalaan”.
Didalam bulu parhalaan ini dituliskan daftar hari baik dan hari sial serta hari-hari lainnya, sesuai dengan pengaruh dan akibat letak posisi bulan pada garis edarnya terhadap manusia yang berhubungan dengan bentuk pekerjaan yang akan dikerjakan dan juga disesuaikan dengan tingkatan status orang yang akan mengerjakan pekerjaan itu. Hanya sayang Bulu parhalaan itu, sangat sederhana sekali, jadi masih memerlukan usaha kita sekarang untuk menyempurnakannya, sehingga menjadi ilmu yang sangat bermanfaat luas dalam kehidupan manusia.
2. Pansur Sipitu Dai (Pancur Tujuh Rasa) juga melambangkan bahwa penguasa Alam Semesta, bersemayam pada tingkatan langit yang Ketujuh, dan pada lapisan awan yang ketujuh. Hal ini dapat kita lihat dalam Tonggo-tonggo si Raja Batak (Doa Siraja Batak) sewaktu si Raja Batak mengadakan upacara persembahan menyembah Debata Mulajadi Na Bolon di Puncak Dolok Pusuk Buhit, dengan Tonggo-tonggo (Doa sebagai berikut) :
“Hutonggo hupio hupangalu alui ma hamu ompung, Debata Mula Jadi Nabolon, dohot tamu ompung Debata Natolu, natolu suhu natolu harajaon, namanggomgomi langit dohot tano, dohot jolma manisia”. (Aku berdoa, menyebutkan dan berseru padamu Tuhan, Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan dengan Tiga nama Tuhan dengan kekuasaan, tiga kerajaan, yang menguasai langit bumi serta segenap isinya).
Mula ni dungdang mula ni sahala, Siutung-untung nabolon, silaeng laeng mandi, Siraja inda-inda, siraja indapati. (Awal dari “dungdang” awal dari kharisma, Siuntung-untung na bolon, burung layang-layang, Siraja inda-inda, Siraja idapati).
Napajungjung pinggan, dihos ni mataniari, Nahinsa-hinsa suruon, nagirgir mangalapi, nasintak sumunde-sunde, nauja manotari, siboto unung-unung, nauja manangi-nangi. (Yang menjingjing piring di tengah teriknya matahari, yang gampang disuruh, dan mudah jemput, yang maha tau apa yang dibicarakan, serta yang peka).
Napabuka-buka pintu, napadung-dang dungdang ari, napasorop-sorop ombun, di gorjok-gorjok ni ari, parambe-rambe nasumurung, sitapi manjalahi, napatorus-torus somba, tu ompunta Mulajadi. (Yang membuka pintu, yang menentukan hari, yang meneduhkan hari, diatas teriknya panas mata hari, menenangkan yang panas hati, dan menunjukkan jalan yang baik, yang meneruskan doa kepada Tuhan).
Tuat ma hamu ompung, sian ginjang ni ginjangan, sian langit ni langitan, sian toding banua ginjang, sian langit na pitu tingka, sianombun na pitu lampis, sian bintang na marjombut, tu lape-lape bulu duri, sian mual situdu langit, tu gala-gala napul-pulan, hariara sangka mandeha, baringin tumbur jati, disi do partungkoan ni ompunta Mulajadi. (Datanglah Engkau ya Tuhan, dari tempat yang Maha Tinggi dari atas langit, serta alam semesta. Dari langit yang ketujuh dan dari awan yang ketujuh lapis, “sian bintang najorbut, tu lape-lape bulu duri”. Dari mata air menuju langit, tu gala-gala napulpulan. Hariara sangka mendeha, baringin tumbur jati, disitulah bersemayam, Allah Bapak maha Pencipta langit dan bumi).
Jadi dalam tonggo-tonggo ini, jelas kita mengetahui bahwa Allah Pencipta alam, bersemayam di langit yang ke tujuh.
3. Pansur si Pitu Dai (Pancuran tujuh rasa), juga melambangkan bahwa ramuan obat-obatan tradisionil Batak, banyak yang harus bersyarat tujuh misalnya : harus tujuh macam, harus tujuh kali, harus tujuh buah, harus tujuh lembar, atau harus tujuh potong.
4. Pansur sipitu Dai (Pancur tujuh rasa), juga melambangkan tata tertib acara margondang (acara Gendang Batak). Pada acara margondang, acara harus dimulai dengan Gondang si Pitu Ombas (tujuh buah irama lagu Gendang dimainkan secara non stop tanpa di ikuti dengan tarian). Setelah gendang sipitu Ombas selesai, maka dimulailah acara menari, tetapi acara ini, harus dimulai dengan “Pitu Hali Mangaliat” (Arak-arakan tujuh kali keliling lapangan menari) dan untuk menutupi acara margondang ini, harus dimulai dengan acara Pitu hali mangaliat.
5. Pansur Sipitu Dai (Pancuran tujuh rasa) juga melambangkan “partuturan” (panggilan) dalam stuktur atau susunan Tarombo (silsilah) karena hanya tujuh Generasi yang mempunyai Pertutuan (panggilan) dalam satu garis keturunan yaitu :
  1. Ompu : Nenek moyang yaitu semua genarasi mulai dari tiga generasi diatas kita.
  2. Ompung : Kakek, yaitu orang yang dua generasi diatas kita
  3. Amang : Ayah, yaitu yang satu generasi diatas kita
  4. Haha Anggi : Abang Adik yaitu orang yang segenerasi dengan kita
  5. Anak : Anak yaitu orang yang saatu generasi di bawah kita
  6. Pahompu : Cucu, yaitu orang yang dua generasi di bawah kita.
  7. Nini : Cicit yitu orang yang mulai tiga generasi di bawah kita.
6. Pansur Sipitu Dai (Pancur Tujuh rasa0 juga melambangkan bahwa dari sepuluh orang keturunan Guru Tatea Bulan, hanya tujuh orang yang mempunyai keturunan langsung, karena tiga orang dari mereka menjadi orang sakti :.
Adapun orang yang menjadi sakti ialah :
  1. Raja Uti Sakti dan tinggal di udara, di darat dan di laut.
  2. Boru Biding laut (boru Tunghau), sakti dan tinggal di hutan atau darat
  3. Nan tinjo Sakti dan tinggal di Danau Toba atau laut.
Adapun yang mempunyai keturunan langsung sebanyak tujuh orang yaitu :
  1. Saribu Raja
  2. Limbong Mulana
  3. Sagala Raja
  4. Silau Raja
  5. Boru Pareme
  6. Bunga Haomasan
  7. Anting Haomasan
Nama yang tujuh ini di gabung menjadi satu ikatan yang dinamakan “Sipitu Tali’ (tujuh satu ikatan), dan nama yang tujuh ini jugalah yang menjadi pedoman untuk pembagian negeri limbong menjadi Pitu Turpuk (tujuh daerah perkampungan), kemudian sipitu tali atau sipitu turpuk ini juga yang menjadi dasar tata pelaksanaan hukum adat di negeri limbong, baik secara pribadi, maupun secara kelompok.
Pemerintahan Limbong dilaksanakan oleh kumpulan dari utusan dari tiap kelompok atau turpuk, yang disebut dengan nama Raja Bius (Raja Wilayah) atau dengan istilah Raja Ni Sipitu Tali. Demikian juga dalam acara kebudayaan ritual, misalnya mengadakan pesta Horbo Bius atau horbo lae-lae, maka raja Bius atau raja ni Sipitu tali inilah yang paling banyak berperan dengan raja-raja yang lain yaitu :
‘Jonggi Manaor” dari turpuk Sidauruk
“Raja Sori” dari turpuk Borsak Nilaingan
“Raja Paradum” dari turpuk Nasiapulu
“Manontang Laut” dari turpuk Sihole
“Raja Paor” dari turpuk habeahan
Bersamaan dengan itu, lahirlah Sisingamangaraja dari marga Sinambela dan juga Palti Raja dari marga Sinaga. Kesaktian Jonggi Manaor ialah Batara Guru Doli bertempat tinggal di Limbong. Kesaktian Sisingamangaraja ialah dari Bala Sori bertempat tinggal di Bakkara, dan kesaktian Palti Raja ialah Bane Bulan bertempat tinggal di Palipi.
Jonggi Manaor beserta dan Raja Sori, Raja Paradum, Manontang Laut dan Raja Paor, mereka inilah pelaksana utama dalam upacara “Hoda Somba” yaitu upacara persembahan, mempersembahkan kuda kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan Yang Maha Esa). Kuda ini dipersembahkan melalui perantaraan Raja Uti, “Raja Hatorusan natorus marpangidoan tu Debata” (yang biasa atau yang bisa langsung bermohon kepada Tuhan Yang Maha Esa). Upacara Hoda Somba ini diadakan terutama kalau terjadi kemarau panjang di seluruh wilayah Samosir.
Maka Hoda Somba (Kuda Persembahan) disediakan oleh keturunan Lontung dari Samosir, kemudian kuda ini diantarkan ke Limbong yang Upacara penyerahan ini dipimpin oleh marga Situmorang, kemudian di Limbong diadakan upacara memohon turunnya hujan mereka pergi ke Simanggurguri dengan membawa seperangkat Gendang di Simanggurguri Jonggi Manaor Martonggo (berdoa) memohon turunnya Hujan, dan pada saat itu juga pasti datang hujan sehingga semua peserta upacara itu harus basah kuyup di Limbong di Guyur air Hujan.
Hoda Somba (Kuda Persembahan) ini dipotong kemudian dikuliti, semua dagingnya dibagi dan dimakan menurut tata cara hak (Parjambaron)menurut status dan kelompok masing-masing kepada semua peserta upacara. Hoda Somba (Kuda Persembahan).
Kemudian kulit Kuda itu, diantarkan kepada Raja Uti di Barus dan yang mengatarkannya ialah Jonggi Manaor, Raja Sori, Raja Paradum, Manontang Laut dan Raja Paon, mereka berjalan kaki dari negeri Limbong melewati Hutan belantara menuju Barus.
Tetapi … setelah mereka berjumpa dengan Raja Uti di Barus, kulit Kuda yang mereka bawa dari Limbong itu menjelma menjadi Kuda yang hidup sebagaimana Kuda itu sebelum dipotong.
Pansur Sipitu Dai (Pancuran tujuh rasa) ini juga mempunyai kisah tersendiri dari si Boru Pareme, karena di Pansur Sipitu dai inilah si Raja Lontung bertemu dengan si Boru Pareme, yang kemudian mereka kawin. Hingga sekarang, apabila ada orang yang kesurupan si Boru Pareme, maka orang itu selalu meminta manortor (Menari) di Pansur Sipitu Dai. Siboru Pareme dengan Raja Lontung mempunyai 7 (tujuh) keturunan yaitu : Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar.
Dari anak Lontung yang tujuh orang ini, anak yang paling bungsu yaitu Marga “Siregar”, adalah menantu kesayangan bagi marga Limbong. Hal itu dapat dibuktikan kalau pansur Ni Hela salah satu Pancuran dari yang tujuh yang di khususkan untuk tempat mandi semua menantu (yang mengawani putri Limbong), kalau pansur Hela ini russak, maka hanya marga Siregarlah yang berkewajiban dan berhak untuk memperbaiki Pancuran itu.
Demikianlah Kisah Pitu Halongangan Opat Batu Tolu Aek, (Tujuh keajaiban Empat Batu Tiga Air), yang terletak di Kaki Dolok Pusut Buhit Kecamatan Sianjur Mula-mula, semoga bukti-bukti sejarah yang masih mempunyai keanehan ini, dapat dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi penerus Bangsa Indonesia karena kebudayaan yang ada di Sianjur Mula-mula adalah milik seluruh BANGSA INDONESIA HORAS.

Mitologi Suku Batak

Mitologi Suku Batak

Category: Budaya Batak
Mitologi bukan merupakan sebuah legenda belaka untuk suku Batak, tetapi juga sangat mempengaruhi sistem adat-istiadat Batak, bahkan masih mempengaruhi cara berpikir suku Batak sampai masa kini, antara lain tentang pendapat, bahwa manusia tidak mampu menentukan nasibnya sendiri, sekalipun dia sangat menginginkannya.
Memang benar, bahwa masing-masing anak-suku ( puak) mempunyai mitologi sendiri-sendiri tentang asal mula orang Batak, tetapi pada pokoknya semua Mitologi itu sama dan berkisar pada lahirnya si Raja Batak yang menjadi nenek moyang semua orang Batak.
Menurut Pdt. DR. Andar Lumbantobing dalam bukunya “Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak”, disebutkan bahwa secara genealogis antropologis, asal usul suku Batak yang bermukim di bagian utara dan barat laut Pulau Sumatra terdiri dari enam suku atau cabang, yaitu suku Karo, Pakpak atau Dairi, Simalungan, Toba, Angkola dan suku Mandailing, yang masing-masing mempunyai bahasa atau dialek. Suku Batak dimasukan dalam rumpun Melayu,yang sebagian besar sekarang menyebut dirinya bangsa Indonesia. Arti Batak sampai sekarang belum dapat di jelaskan secara pasti dan memuaskan. Menurut J, Warneck, Batak berarti “Penunggu kuda yang lincah”, tetapi menurut H.N. Van der Tuuk, Batak berarti “kafir” sedangkan yang lain mengartikannya “budak-budak yang bercap atau ditandai”.
Selanjutnya DR. Andar menjelaskan bahwa menurut beberapa prasasti peninggalan Adityawarman abad ke-14, sekelompok murid dan pengikut aliran Mahayana telah memasuki daerah pedalaman Sumatra Utara dan mereka menetap disana, di tengah-tengah daerah pegunungan. Oleh dunia ilmu pengetahuan masa kini, diakui sebagai nenek-moyang suku Batak yang kini mendiami daerah itu. Selain itu, tidak ada lagi yang dapat diketahui dunia luar secara pasti tentang perkembangan suku.
Suku Batak sudah mempunyai kebudayaan sendiri dan juga telah memiliki keterampilan yang cukup tinggi. Diantara benda-benda yang dimiliki, yang sangat berpengaruh dalam hidupnya adalah aksara Batak sendiri. Hanya dengan mengenal dan memahami aksara orang itu dapat melihat-lihat keanehan-keanehan dan keganjilan-keganjilan yang terdapat dalam jampi dan mantra datu Batak. Sangat disesalkan karena penulisan hukum adat Batak, syair, pantun, umpama, dongeng, dan sisilah Batak, yang sangat penting kedudukannya dalam budaya batak, tidakdituangkan dalam bentuk tulisan.pada mulanya orang-orang Eropa bermaksud melakukan penulisan itu, tetapi gagal. Cerita-cerita peninggalan nenek moyang yang mereka dapatkan secara lisan, tidak ditulis sesuai aslinya, banyak yang di ubah, sehinga tidak lagi memberi gambaran otentik mengenai budaya dan filsafatnya.
Ukiran-serta pahatan-pahatan pada rumah adat Batak sangat indah dan menggambarkan kepekaan rasa pengukirnya. Demikian juga hasil tempaan para pandai besi dan para penenun. Semuanya membuktikan bahwa suku Batak sangat menekuni pekerjaannya dengan mengandalkan pengetahuan dan perasaan artistik yang dimilikinya. Dalam hal pengolahan tanah, harus diakui bahwa mereka cukup berhasil – meskipun pada masa perang, rakyat masih mampu mempertahankan hidupnya dengan hasil tanamannya sendiri.
Disamping itu, suku Batak berjiwa patriot dan sudah lama mengenal rabuk,sehingga sebagaimana orang yang memiliki sifat-sifat keprajuritan yang gemar berkelahi, dalam soal pertikaian antar kelompok atau kampung mereka sangat cepat menggunakan senjata api. Namun suku Batak rata-rata bukanlah pendendam. Memang benar mereka cepat naik darah, tetapi marahnya tidak lama dan segera dilupakan, sejauh masalah itu hanya menyangkut pribadinya saja.
Menurut Mitologi Batak, tempat asal suku Batak adalah gunung Pusuk Buhit yang terletak di sebelah Barat Laut Danau Toba.
Pada umumnya, pemberitaan yang dilakukan dari mulut ke mulut tidak dapat di percaya. Hal ini terbukti dengan banyak cerita dan dongeng yang beredar di kalangan bangsa dan suku-suku negeri ini, yang semuanya tidak sesuai dengan pemberitaan alkitab tentang penciptaan yang hanya mempunyai dua versi (yang pertama dalam Kejadian 1 dan dalam Kejadian 2yang kedua
Menurut Warneck, hampir semua suku (marga) memiliki dongeng, yang satu sama lain sama sekali tidak mempunyai persamaan.untuk memperoleh gambaran mengenai pola pemikiran tentang terjadinya suku Batak menurut dongeng-dongeng yang dikenal secara luas, berikut ini disajikan salah satu dongeng.
Dalam Mitologi Batak burung layang-layang, berkedudukan seperti kurir atau penghubung antara penghuni langit dengan bumi. Suatu ketika, burung itu di panggil oleh Mulajadi Na Balon, sang Awal Yang Maha Besar yang berkuasa atas segala yang ada, untuk mengantarkan sebuah lodong (poting, bamboo tabung air) berisi benih kepada Boru Deak-Parujar, putri seorang dewa yang berada di bumi. Setelah burung itu tiba di tmpat Boru Deak, dia berkata : “Boru Deak-Parujar, tenunlah sehelai ulos ragidup (kain adat Batak), kemudian lilitkan ulos itu pada lodong itu lalu bukalah tutup nya. “Setelah Boru Deak-Parujar menenun sehelai ulos, dia melilitkan pada lodong itu kemudian dia buka tutupnya dan dari dalamnya meloncatlah keluar seorang pria. Dialah yang disebut Tuan Mulana (yang awal). Boru Deak menempatkan pria itu disebuah daerah yang terang, lalu dia menyuruh burung itu kembali kepada Mulajadi Na Bolon untuk menyampaikan pertanyaan Boru Deak yang oleh Mulajadi dijawab, “Boru Deak sendirilah yang akan menjadi teman hidupnya !” Dan mulai saat itu Boru Deak-Parujar menjadi seorang manusia seperti Tuan Mulana. Merekalah yang menjadi nenek-moyang orangBatak di atas dunia ini.
Dari cerita tersebut dapat disimpulkan, bahwa suku Batak di zaman keberhalaan sudah percaya pada Allah Yang Esa, yang disebut Mulajadi Na Bolon, yang menjadi awal dari segala yang ada; Dialah Yang Mahatinggi, Allah yang oleh suku Batak di percaya sebagai Allah dari segala ilahi yang menjadikan langit, bumi dan segala isinya, yang secara terus-menerus memelihara hidup ini.

Seni Tari Batak(tor-tor)

Seni Tari (Tor-tor) Batak

Hula2
Seni tari Batak pada zaman dahulu merupakan sarana utama pelaksanaan upacara ritual keagamaan. Juga menari dilakukan jug dalam acara gembira seperti sehabis panen, perkawinan, yang waktu itu masih bernapaskan mistik (kesurupan).
Acara pesta adat yang membunyikan gondang sabangunan (dengan perangkat musik yang lengkap), erat hubungannya dengan pemujaan para Dewa dan roh-roh nenek moyang (leluhur) pada zaman dahulu.
Tetapi itu dapat dilaksanakan dengan mengikuti tata cara dan persyaratan tertentu.umpamanya sebelum acara dilakukan terbuka terlebih dahulu tuan rumah (hasuhutan) melakukan acara khusus yang dinamakna Tua ni Gondang, sehingga berkat dari gondang sabangunan. Dalam pelaksanaan tarian tersebut salah seorang dari hasuhutan (yang mempunyai hajat akan memintak permintaan kepada penabuh gondang dengan kata-kata yang sopan dan santun sbb:
“Amang pardoal pargonci…….
1- “Alu-aluhon ma jolo tu omputa Debata Mulajadi Nabolon, na Jumadihon nasa adong, na jumadihon manisia dohot sude isi ni portibion.”
2- “Alu-aluhon ma muse tu sumangot ni omputa sijolo-jolo tubu, sumangot ni omputa paisada, omputa paidua, sahat tu papituhon.”
3- “Alu-aluhon ma jolo tu sahala ni angka amanta raja na liat nalolo.”
Setiap selesai satu permintaan selalu diselingi dengan pukulan gondang dengan ritme tertentu dalam beberapa saat. Setelah ketiga permintaan/ seruan tersebut dilaksanakan dengan baik maka barisan keluarga suhut yang telah siap manortor (menari) mengatur susunan tempat berdirinya untuk memulai menari. Kembali juru bicara dari hasuhutan memintak jenis gondang, satu persatu jenis lagu gondang, ( ada 7 jenis lagu Gondang) yang harus dilakukan Hasuhutan untuk memdapatka (tua ni gondang). Para melakukan tarian dengan semangat dan sukacita.Adapun jenis permintaan jenis lagu yang akan dibunyikan adalah seperti :permohonan kepada Dewa dan pada ro-roh leluhur agar keluarga suhut yang mengadakan acara diberi keselamatan kesejahteraan, kebahagiaan, dan rezeki yang berlimpah ruah, dan upacara adat yang akan dilaksanakan menjadi sumber berkat bagi suhut dan seluruh keluarga, serta para undangan.Sedangkan gondang terakhir yang dimohonkan adalah gondang hasahatan. Didalam Menari banyak pantangan yang tidak diperbolehkan, seperti tangan sipenari tidak boleh melewati batas setinggi bahu keatas, bila itu dilakukan berarti sipenari sudah siap menantang siapapun dalam bidang ilmu perdukunan, atau adu pencak silat, atau adu tenaga batin. Dll.
Tarian (tor-tor) Batak ada lima gerakan (urdot) 1- Pangurdot (yang termasuk pangurdot dari organ-organ tubuh ialah daun kaki, tumit sampai bahu. 2- Pangeal (yang termasuk pangeal dari organ tubuh adalah Pinggang, tulang punggung sampai daun bahu/ sasap). 3- Pandenggal (yang masuk pandenggal adalah tangan, daun tangan sampai jari-jari tangan). 4- Siangkupna ( yangtermasuk Siangkupna adalah leher,).
Didalam menari setiap penari harus memakai Ulos.
Didalam menari orang Batak mempergunakan alat musik/ Gondang yaitu terdiri dari: Ogung sabangunan terdiri dari 4 ogung. Kalau kurang dari empat ogung maka dianggap tidak lengklap dan bukan Ogung sabangunan dan dianggap lebih lengkap lagi kalau ditambah dengan alat kelima yang dinakan Hesek. Kemudian Tagading terdiri dari 5 buah. Kemudian Sarune (sarunai harus memiliki 5 lobang diatas dan satu dibawah.
Peralatannya cukup sederhan namun kalau dimainkan oleh yang sudah berpengalaman sangat mampu menghipnotis pendengar.
Menari juga dapat menunjukkan sebagai pengejawantahan isi hati saat menghadapi keluarga atau orang tua yang meninggal, tariannnya akan berkat-kata dalam bahasa seni tari tentang dan bagaimana hubungan batin sipenari dengan orang yang meninggal tersebut. Juga Menari dipergunakan oleh kalangan muda mudi menyampai hasrat hatinya dalam bentuka tarian, sering taruian ini dilakukan pada saat bulan Purnama. Kesimpulannya bahwa tarian ini dipergunaka sebagai sarana penyampaian batin baik kepada Roh-roh leluhur dan maupun kepada orang yang dihormati (tamu-tamu) dan disampaikan dalam bentuk tarian menunjukkan rasa hormat.

dalihan na tolu

Asal Usul Dalihan Natolu

Legenda Putri Nai Manggale
Pada suatu hari Raja Panggana yang terkenal pandai memahat dan mengukir mengadakan pengembaraan keliling negeri. Untuk biaya hidupnya, Raja Panggana sering memenuhi permintaan penduduk untuk memahat patung atau mengukir rumah. Walaupun sudah banyak negeri yang dilaluinya dan banyak sudah patung dan ukiran yang dikerjakannya, masih terasa padanya sesuatu kekurangan yang membuat dirinya selalu gelisah.
Untuk menghilangkan kegelisahannya, ia hendak mengasingkan diri pada satu tempat yang sunyi. Di dalam perjalanan di padang belantara yang penuh dengan alang-alang ia sangat tertarik pada sebatang pohon tunggal yang hanya itu saja terdapat pada padang belantara tersebut. Melihat sebatang pohon tunggal itu Raja Panggana tertegun. Diperhatikannya dahan pohon itu, ranting dan daunnya. Entah apa yang tumbuh pada diri Raja Panggana, ia melihat pohon itu seperti putri menari. Dikeluarkannya alat-alatnya, ia mulai bekerja memahat pohon itu menjadi patung seorang putri yang sedang menari. Ia sangat senang, gelisah hilang. Sebagai seorang seniman ia baru pernah mengagumi hasil kerjanya yang begitu cantik dan mempesona. Seolah-olah dunia ini telah menjadi miliknya. Makin dipandangnya hasil kerjanya, semakin terasa pada dirinya suatu keagungan.
Pada pandangan yang demikian, ia melihat patung putri itu mengajaknya untuk menari bersama. Ia menari bersama patung dipadang belantara yang sunyi tiada orang. Demikianlah kerja Raja Panggana hari demi hari bersama putri yang diciptakannya dari sebatang kayu. Raja Panggana merasa senang dan bahagia bersama patung putri. Tetapi apa hendak dikata, persediaan makanan Raja Panggana semakin habis. Apakah gunanya saya tetap bersama patung ini kalau tidak makan ? biarlah saya menari sepuas hatiku dengan patung ini untuk terakhir kali. Demikian Raja Panggana dengan penuh haru meninggalkan patung itu. dipadang rumput yang sunyi sepi tiada berkawan. Raja Panggana sudah menganggap patung putri itu sebagian dari hidupnya.
Berselang beberapa hari kemudian, seorang pedagang kain dan hiasan berlalu dari tempat itu. Baoa Partigatiga demikian nama pedagang itu tertegun melihat kecantikan dan gerak sikap tari patung putri itu. Alangkah cantiknya si patung ini apabila saya beri berpakaian dan perhiasan. Baoa Partigatiga membuka kain dagangannya. Dipilihnya pakaian dan perhiasan yang cantik dan dipakaikannya kepada patung sepuas hatinya. Ia semakin terharu pada Baoa Partigatiga belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik itu. dipandanginya patung tadi seolah-olah ia melihat patung itu mengajaknya menari.
Menarilah Baoa Partigatiga mengelilingi patung sepuas hatinya. Setelah puas menari ia berusaha membawa patung dengannya tetapi tidak dapat, karena hari sudah makin gelap, ia berpikir kalau patung ini tidak kubawa biarlah pakaian dan perhiasan ini kutanggalkan. Tetapi apa yang terjadi, pakaian dan perhiasan tidak dapat ditanggalkan Baoa Partigatiga. Makin dicoba kain dan perhiasan makin ketat melekat pada patung. Baoa Partigatiga berpikir, biarlah demikian. Untuk kepuasan hatiku baiklah aku menari sepuas hatiku untuk terakhir kali dengan patung ini. Iapun menari dengan sepuas hatinya. Ditinggalkannya patung itu dengan penuh haru ditempat yang sunyi dan sepi dipadang rumput tiada berkawam.
Entah apa yang mendorong, entah siapa yang menyuruh seorang dukun perkasa yang tiada bandingannya di negeri itu berlalu dari padang rumput tempat patung tengah menari. Datu Partawar demikian nama dukun. Perkasa terpesona melihat patung di putri. Alangkah indahnya patung ini apabila bernyawa. Sudah banyak negeri kujalani, belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik ini. Datu Partawar berpikir mungkin ini suatu takdir. Banyak sudah orang yang kuobati dan sembuh dari penyakit. Itu semua dapat kulakukan berkat Yang Maha Kuasa.
Banyak cobaan pada diriku diperjalanan malahan segala aji-aji orang dapat dilumpuhkan bukan karena aku, tetapi karena ia Yang Maha Agung yang memberikan tawar ini kepadaku. Tidak salah kiranya apabila saya menyembah Dia Yang Maha Agung dengan tawar yang diberikannya padaku, agar berhasil membuat patung ini bernyawa. Dengan tekad yang ada padanya ini Datu Partawar menyembah menengadah keatas dengan mantra, lalu menyapukan tawar yang ada pada tangannya kepada patung. Tiba-tiba halilintar berbunyi menerpa patung. Sekitar patung diselimuti embun putih penuh cahaya.
Waktu embun putih berangsur hilang nampaklah seorang putri jelita datang bersujud menyembah Datu Partawar. Datu Partawar menarik tangan putri, mencium keningnya lalu berkata : mulai saat ini kau kuberi nama Putri Naimanggale. Kemudian Datu Partawar mengajak Putri Naimanggale pulang kerumahnya…….
Konon kata cerita kecantikan Putri Naimanggale tersiar ke seluruh negeri. Para perjaka menghias diri lalu bertandang ke rumah Putri Naimanggale. Banyak sudah pemuda yang datang tetapi belum ada yang berkenan pada hati Putri Naimanggale. Berita kecantikan Putri Naimenggale sampai pula ketelinga Raja Panggana dan Baoa Partigatiga. Alangkah terkejutnya Raja Panggana setelah melihat Putri Naimanggale teringat akan sebatang kayu yang dipahat menjadi patung manusia.
Demikian pula Baoa Partigatiga sangat heran melihat kain dan hiasan yang dipakai Putri Naimanggale adalah pakaian yang dikenakannya kepada Patung, Putri dipadang rumput. Ia mendekati Putri Naimanggale dan meminta pakaian dan hiasan itu kembali tetapi tidak dapat karena tetap melekat di Badan Putri Naimanggale. Karena pakaian dan hiasan itu tidak dapat terbuka lalu Baoa Partigatiga menyatakan bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Raja Panggana menolak malahan balik menuntut Putri Naimanggale adalah miliknya karena dialah yang memahatnya dari sebatang kayu. Saat itu pula muncullah Datu Partawar dan tetap berpendapat bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Apalah arti patung dan kain kalau tidak bernyawa. Sayalah yang membuat nyawanya maka ia berada di dalam kehidupan. Apapun kata kalian itu tidak akan terjadi apabila saya sendiri tidak memahat patung itu dari sebatang kayu. Baoa Partigatiga tertarik memberikan pakaian dan perhiasan karena pohon kayu itu telah menajdi patung yang sangat cantik. Jadi Putri Naimanggale adalah milik saya kata Raja Panggana. Baoa Partigatiga balik protes dan mengatakan, Datu Partawar tidak akan berhasrat membuat patung itu bernyawa jika patung itu tidak kuhias dengan pakaian dan hiasan. Karena hiasan itu tetap melekat pada tubuh patung maka Raja Partawar memberi nyawa padanya. Datu Partawar mengancam, dan berkata apalah arti patung hiasan jika tidak ada nyawanya ? karena sayalah yang membuat nyawanya, maka tepatlah saya menjadi pemilik Putri Naimanggale. Apabila tidak maka Putri Naimanggale akan kukembalikan kepada keadaan semula. Raja Panggana dan Baoa Partigatiga berpendapat lebih baiklah Putri Naimanggale kembali kepada keadaan semula jika tidak menjadi miliknya.
Demikianlah pertengkaran mereka bertiga semakin tidak ada keputusan. Karena sudah kecapekan, mereka mulai sadar dan mempergunakan pikiran satu sama lain. Pada saat yang demikian Datu Partawar menyodorkan satu usul agar masalah ini diselesaikan dengan hati tenang didalam musyawarah. Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mulai mendengar kata-kata Datu Partawar. Datu Partawar berkata : marilah kita menyelesaikan masalah ini dengan hati tenang didalam musyawarah dan musyawarah ini kita pergunakan untuk mendapatkan kata sepakat. Apabila kita saling menuntut akan Putri Naimanggale sebagai miliknya saja, kerugianlah akibatnya karena kita saling berkelahi dan Putri Naimanggale akan kembali kepada keadaannya semula yaitu patung yang diberikan hiasan. Adakah kita didalam tuntutan kita, memikirkan kepentingan Putri Naimanggale? Kita harus sadar, kita boleh menuntut tetapi jangan menghilangkan harga diri dan pribadi Putri Naimanggale.
Tuntutan kita harus kita dasarkan demi kepetingan Putri Naimanggale bukan demi kepentingan kita. Putri Naimanggale saat sekarang ini bukan patung lagi tetapi sudah menjadi manusia yang bernyawa yang dituntut masing-masing kita bertiga. Tuntutan kita bertiga memang pantas, tetapi marilah masing-masing tuntutan kita itu kita samakan demi kepentingan Putri Naimanggale.
Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mengangguk-angguk tanda setuju dan bertanya apakah keputusan kita Datu Partawar ? Datu Partawar menjawab, Putri Naimanggale adalah milik kita bersama. Mana mungkin, bagaimana kita membaginya. Maksud saya bukan demikian, bukan untuk dibagi sahut Datu Partawar. Demi kepentingan Putri Naimanggale marilah kita tanyakan pendiriannya. Mereka bertiga menanyakan pendirian Putri Naimanggale.
Dengan mata berkaca-kaca karena air mata, air mata keharuan dan kegembiraan Putri Naimanggale berkata : “Saya sangat gembira hari ini, karena kalian bertiga telah bersama-sama menanyakan pendirian saya. Saya sangat menghormati dan menyayangi kalian bertiga, hormat dan kasih sayang yang sama, tiada lebih tiada kurang demi kebaikan kita bersama. Saya menjadi tiada arti apabila kalian cekcok dan saya akan sangat berharga apabila kalian damai. Mendengar kata-kata Putri Naimanggale itu mereka bertiga tersentak dari lamunan keakuannya masing-masing, dan memandang satu sama lain. Datu Partawar berdiri lalu berkata : Demi kepentingan Putri Naimanggale dan kita bertiga kita tetapkan keputusan kita :
a. Karena Raja Panggana yang memahat sebatang kayu menjadi patung, maka pantaslah ia menjadi Ayah dari Putri Naimanggale. SUHUT
b. Karena Baoa Partigatiga yang memberi pakaian dan hiasan kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Amangboru dari Putri Naimanggale. BORU
c. Karena Datu Partawar yang memberikan nyawa dan berkat kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Tulang dari Putri Naimanggale. HULA-HULA
Mereka bertiga setuju akan keputusan itu dan sejak itu mereka membuat perjanjian, padan atau perjanjian mereka disepakati dengan :
Pertama, bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar akan menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi dan mungkin terjadi dengan jalan musyawarah.
Kedua, bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale dan turunannya kelak, Putri Naimanggale dan turunannya harus mematuhi setiap keputusan dari Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar.
Demikian legenda PUTRI NAI MANGGALE yang menggambarkan (turi-turian) asal muasal DALIHAN NA TOLU didalam kekerabatan Batak. Dari cerita tersebut, bahwa hakikat DNT adalah musyawarah untuk menyelesaikan masalah demi kebaikan orang yang dikasihi dalam hal ini PUTRI NAI MANGGALE.

asal usul marga siregar

Cerita Rakyat Tentang Marga Siregar dan Bonabulu Huta Sibadoar

-Mogot Laut gelar Tor Lalo Dipartuan Raja Sutan Parlindungan
Asa jolmana siboru tindang panungkunan adat tuan laen bolon, na mora sari matua oloan, sinuan boyu ni Raja sian Sipahutar tano Humbang. Nampuna pusako “Hujur Siburnung” na ni ondamkon tu musu hona burnung; ulubalangna margoar: Ulubalang Lapung na mondol-ondol. Membuka perkampungan pahulu Aek Lampesong (anak sungai Aek Siguti); letaknya tidak jauh dari Huta Paranjulu – Sipirok yang dinamakan Bonabulu Hosana (setelah ditinggalkan dinamakan Lobu Hasona). Beliau meninggal dan dimakamkan di Bonabulu Hasona.Turunannya generasi ke-3, yang bernama Dipartuan Mangaraja Mangalempang membuka perkampungan baru di hulu anak sungai Aek Siguti yang disebut Aek Batu Tunggal yang disebut Baringin Tumburjati, ganop langka mamorjati, na marparrapotan Asar ni Kak na marsopo gonjang sopo ratcang sio dalom magodang. Pada tahun 1969 “saring-saring” (tulang belulang) dari Mogot Laut gelar Tor Lalo Muda Dipertuan Raja Sutan Parlindungan oleh turunannya di “okkal” dari Lobu Hasona ke Baringin.
 Mengingat Lobu Hasona tempat makam/pusara termasuk wilayah Harajaon Sipirok Bagas Godang (pembagian wilayah Kuria oleh pemerintah Hindia Belanda; legalisasi kekuasaan di lapangan/de-fakto); maka pada waktu saring-saring almarhum di-okkal/dipindahkan ke Baringin Tumburjati; sebelumnya diadakan suatu upacara khusus penyerahan saring-saring (tulang belulang) oleh yang mewakili Harajaon Sipirok Bagas Godang, pada waktu itu oleh Mangaraja Tua kepada Harajaon Baringin Tumburjati yang diwakili oleh Bachrum Siregar pada waktu itu menjabat sebagai Direktur SMA Sipirok bertempat di Poken Aek Sipirok Godang. -Timba Laut; gelar Raja Pande Bosi Ompu ni Hatunggal; anak bungsu; Raja Sipirok. Sebagai anak bungsu dari Ompu Palti Raja (sianggian) sesuai adat menerima warisan sakral (hasahatan ni repe-repe) marga Siregar yang dipercaya mengandung mistik berupa: Tombak Siguam, berhiaskan rambut manusia korbannya; diyakini berfungsi di dalam upacara “Gaja Luppat” dalam rangka ma-“mele” Debata Mulajadi dengan mempersembahkan manusia hidup sebagai korban.Muda diondamkon diparmusuon, guamon sude alo. Selain tombak diwarisi juga pipa/cangklong yang bentuknya unik untuk menghisap tembakau serta tuku (bahan baku kayu) yang ditoreh dan bagian luarnya dibalut dengan mas (ampu harajaan); senjata raut Panaluan Jati (sejenis pisau) na tau monang di parmusuan dohot doal Sitingguang di Langit; sorana maninggual alamat monang marmusu, alamat bosur hangoluan.Semua benda-benda sakral pusaka marga Siregar ini, konon sampai sekarang diwarisi dan disimpan turunan Kuria Sipirok. Marbonabulu di Padang Handis –Tambatan Gaja na marsopo gonjang sopo rancang sio dalom magodang na disuan bulu aor duri humaliang huta bonabulu na marpintu horbangan na ni jagoan ni goruk-goruk hapinis. Ulubalangna margoar: Parosang-osang Saharbangan. Sopo godang na marsalapsap pandenggani sio bandir paoto-otohon na marpanikkan marsamonding, martiang godang juguhan marpollung.Anak kedua Timba Laut gelar Raja Pande Bosi Ompu ni Hatunggal atau cucu Ompu Palti Raja bernama Badia Raja gelar Namora Tuat Sende membuka perkampungan baru ke arah hulu Aek Siguti, lokasinya di pinggiran anak sungai yang bernama Aek Siharangkiang, tidak jauh dari Huta Pagaranpadang namanya: Hutaraja Tinggi Sidangar-dangar Sibadoar. Perkampunan ini kemudian berkembang, dan mendirikan perkampungan-perkampungan baru antara lain ke arah hilir Aek Siguti tidak jauh dari muara Aek Lampesong yang diberi nama: Huta Sibadoar; berkemungkinan karena di sekitarnya banyak tumbuh tanaman badoar (sejenis palma); kemudian nama perkampungan ini menjadi Lobu Sibadoar setelah ditinggalkan penghuninya.Catatan: Timba Laut gelar Raja Pande Bosi, Oppu ni Hatunggal mempunyai 3 (tiga) orang anak yaitu:
1. Sutan Mula Sontang; turunannya Bagas Lombang Sipirok; Bagas Godang Sipirok, dll.
2. Badia Raja gelar Namora Tuat Sende; turunannya di Sibadoar, dll.
3. Ja Hatunduhan; turunannya di Pagaranpadang, Simaninggir Sipirok, dll. Badia Raja gelar Namora Tuat Sende diyakini makam/pusaranya di pinggir Aek Mandurana Tor Sibohi; sekitar lokasi per-hotelan Tor Sibohi.**